MEKANIKA LAGU PULANG
— A.M.B.G.
lelaki
perlukah aku belajar dari kelopak bunga dilarung badai
sejenak bersitahan dengan lirih doa-doa yang hanya
diaminkan satu dua butir pasir
sungguh kau tahu betapapun
kunikmati sisa hujan memperparah rindu,
juga kering meluruhkan daun-daun, atau rel-rel kereta
memuai sepanjang siang,
lelah ini terlanjur lelap meniduri lambungku
muak digenangi gairah pedih sesayat asa
hari ini aku melangkahi langit
menjawab panggilan lagu pulang
yang syairnya bahkan ku eja dari kepak sayap izrail
sesempatnya kucuri hijau tundra dan sabana untukmu
sebagai latar tempat kenangan tentangku kelak kau lakonkan
kususuri juga mimpi-mimpi kita yang hanya tertambat di nakreus
kalau aku boleh meminta, lelaki
simpan saja ceritamu untuk esok
gemakan ia ke utara agar aku tak perlu merasakan sepi sejati
letakkanlah senyummu di bawah arak gemawan
mengiring perjalananku sesederhana azan subuh tadi
mungkin sebagai pengganti mawar yang ku benci durinya
sematkanlah belasungkawa dari puisi-puisimu yang paling kau hapal
pada nisan putih jadi pengganti wajahku
setelah ini hanya itu yang dapat kau usap
utas bayanganku segera mengirap ditawan gelap
Kendari, 8-9 Juli 2009
PULANGLAH KE DALAM MATAKU
— L.M. Alhayun Kasim
bapak, pulanglah ke dalam mataku
sebelum magrib menumbuhkan gelap pada jalan-jalan setapak
yang kulalui dalam gendongan lalu tertidur di bahumu
di
semacam rengekan kanak-kanak, garis muda melekati wajah,
juga sumringah orang-orang dewasa
melirik aku melafal pancasila setengah terbata
adalah baju yang kelabu, topi yang sederhana, tetap setia mengawetkan
masa lalu
persis ketika kau menunggui aku di gerbang sekolah atau suatu sore kita menekuni dialog air laut dan koli-koli menyebrangi teluk kendari
ah, betapa deru mesin yang dikendalikan papalimbang terlampau senyap dibanding sorak gembiraku menghitung jumlah ombak,
meneriaki kawanan burung tengah istirah di tomba
kemarin aku tertegun mendapati tali pusarku tersimpan baik dalam lemari
mungkin telah menjelma artefak bagimu
sebab hadiah pertama dari bayi mungil hampir dua puluh tahun lalu
takkan pernah kau tukar dengan hening samudera
bapak, kaukah itu yang merentang tangan sepanjang garis edar matahari
menantiku melingkarkan sejengkal lengan anak kecil yang tak pernah cukup membelit pinggangmu
sungguh aku rindu jadi cengeng seperti waktu SD
agar dapat kubenamkan wajah pada penampang perutmu
sekedar menyembunyikan tangis ketika dimarahi mama
atau nilai matematikaku yang dapat merah
dan takdirpun berotasi di ragamu
sisakan rambut putih, gigi tanggal, kulit mengisut yang
belum memaksamu untuk tua
apalagi merangkai cita-cita sahaja
sedang kekeliruan memaknai april sebagai bulan ketiga
hanya setitik alamat bahwa kau mulai pelupa
aku masih menghidupkanmu sebagai lelaki pagi
mengajariku mendaki makna dongeng sebelum tidur
mengirim mimpi ke langit lewat layang-layang
juga merekat mozaik cerita dari lokan-lokan
yang kita pungut sepanjang bokori
sepanjang pulau hari
adakah kini waktu jadi terlampau mahal untuk kita bagi
sekedar menyeruput teh dari cangkir yang sama
atau memecah bisu perjalanan dalam angkot
bapak, pulanglah kedalam hatiku
sebelum gelap benar-benar meracuni langkah
demi rembulan yang menabur aroma malam
aku merindu kau merindukan aku
Kendari, 12 Juli 2009