Wednesday, September 8, 2010

Puisi-Puisiku dalam Antologi Pedang Angin dan Sayap Air Mata




MEKANIKA LAGU PULANG

A.M.B.G.

lelaki

perlukah aku belajar dari kelopak bunga dilarung badai

sejenak bersitahan dengan lirih doa-doa yang hanya

diaminkan satu dua butir pasir

sungguh kau tahu betapapun

kunikmati sisa hujan memperparah rindu,

juga kering meluruhkan daun-daun, atau rel-rel kereta

memuai sepanjang siang,

lelah ini terlanjur lelap meniduri lambungku

muak digenangi gairah pedih sesayat asa

hari ini aku melangkahi langit

menjawab panggilan lagu pulang

yang syairnya bahkan ku eja dari kepak sayap izrail

sesempatnya kucuri hijau tundra dan sabana untukmu

sebagai latar tempat kenangan tentangku kelak kau lakonkan

kususuri juga mimpi-mimpi kita yang hanya tertambat di nakreus

kalau aku boleh meminta, lelaki

simpan saja ceritamu untuk esok

gemakan ia ke utara agar aku tak perlu merasakan sepi sejati

letakkanlah senyummu di bawah arak gemawan

mengiring perjalananku sesederhana azan subuh tadi

mungkin sebagai pengganti mawar yang ku benci durinya

sematkanlah belasungkawa dari puisi-puisimu yang paling kau hapal

pada nisan putih jadi pengganti wajahku

setelah ini hanya itu yang dapat kau usap

utas bayanganku segera mengirap ditawan gelap


Kendari, 8-9 Juli 2009



PULANGLAH KE DALAM MATAKU

L.M. Alhayun Kasim

bapak, pulanglah ke dalam mataku

sebelum magrib menumbuhkan gelap pada jalan-jalan setapak

yang kulalui dalam gendongan lalu tertidur di bahumu

di sana tergelar sejarah

semacam rengekan kanak-kanak, garis muda melekati wajah,

juga sumringah orang-orang dewasa

melirik aku melafal pancasila setengah terbata

adalah baju yang kelabu, topi yang sederhana, tetap setia mengawetkan

masa lalu

persis ketika kau menunggui aku di gerbang sekolah atau suatu sore kita menekuni dialog air laut dan koli-koli menyebrangi teluk kendari

ah, betapa deru mesin yang dikendalikan papalimbang terlampau senyap dibanding sorak gembiraku menghitung jumlah ombak,

meneriaki kawanan burung tengah istirah di tomba

kemarin aku tertegun mendapati tali pusarku tersimpan baik dalam lemari

mungkin telah menjelma artefak bagimu

sebab hadiah pertama dari bayi mungil hampir dua puluh tahun lalu

takkan pernah kau tukar dengan hening samudera

bapak, kaukah itu yang merentang tangan sepanjang garis edar matahari

menantiku melingkarkan sejengkal lengan anak kecil yang tak pernah cukup membelit pinggangmu

sungguh aku rindu jadi cengeng seperti waktu SD

agar dapat kubenamkan wajah pada penampang perutmu

sekedar menyembunyikan tangis ketika dimarahi mama

atau nilai matematikaku yang dapat merah

dan takdirpun berotasi di ragamu

sisakan rambut putih, gigi tanggal, kulit mengisut yang

belum memaksamu untuk tua

apalagi merangkai cita-cita sahaja

sedang kekeliruan memaknai april sebagai bulan ketiga

hanya setitik alamat bahwa kau mulai pelupa

aku masih menghidupkanmu sebagai lelaki pagi

mengajariku mendaki makna dongeng sebelum tidur

mengirim mimpi ke langit lewat layang-layang

juga merekat mozaik cerita dari lokan-lokan

yang kita pungut sepanjang bokori

sepanjang pulau hari

adakah kini waktu jadi terlampau mahal untuk kita bagi

sekedar menyeruput teh dari cangkir yang sama

atau memecah bisu perjalanan dalam angkot

bapak, pulanglah kedalam hatiku

sebelum gelap benar-benar meracuni langkah

demi rembulan yang menabur aroma malam

aku merindu kau merindukan aku


K
endari, 12 Juli 2009


No comments: