Wednesday, September 8, 2010
Puisi-Puisiku dalam Antologi Dua Sisi Mata Cinta
KEPADA AYAH
sudahkah kau baca
satu sajak yang kuukir di mega-mega ?
tengok satu kali saja
disana ada narasi tentang kita
kuceritakan hujan menitik tanpa suara
mengikis bait sajakku satu-satu
kubiarkan angin membaca
meski sebenarnya dia buta
ayah
tengok satu kali saja
disini ada narasi tentang kita
tak perlu lagi mendongak ke mega- mega
kali ini tatap mataku saja
Kendari, 21 April 2008
ANGIN
akhirnya kau sampai juga di kamarku
merenungi desaumu sore ini
membuat aku tahu
musim hujan tengah mendaki langit
gusar, kurasakan jelas dari hembusmu
kau bahkan tak peduli pada jendela tua itu
ia terus saja berderit tak karuan
karena kau tabrak berkali-kali
apa yang ingin kau katakan kawan ?
beri aku waktu
menerjemahkan lagu bisumu
apa yang ingin kau ceritakan kawan ?
biar kutorehkan kisahmu
dalam diaryku yang sepi dari roman dan puisi
ungkaplah saja
setidaknya kau akan punya kenangan
tentang hari-hari melukis kemarau
dan cahaya bulan
berpendar pelan di antara awan
Kendari, 26 April 2008
AKU. PADA SEBUAH JALAN
angin kusut masai di jalan ini
menyerakkan kata luka dan sobekan pagi
ada damai kepak merpati
mati bersama raung remah-remah hujan
menengadah di jalan ini
jejak mendung hambur di mataku
menebak-nebak luas langit hingga
epilog sajak biru
rasanya hari ini akan jadi panjang,
diskusi dengan rindu semakin ngilu
berlari di jalan ini
menerobos gersang kematian musim
aku kalah dan pecah jadi keping buah mahoni
getir, dan lebih siksa dari laut yang
memerdekakan jiwa-jiwa, sedang ia terpenjara cakrawala
menampung ketaksetiaan ombak
hanya pada jalan ini
tak kutahu ujung bersemayam
lalu dari tuturan malam
kuketahui ujung itu akan datang
mengetuk setiap pintu rumah
Kendari, 7 Maret 2009
KAMALI DI SEPULUH
;Pamanku Alfailun
Sapoaati yang menjalari pantai
Mencipta prahara
Tentang takdir dan pesan ombak
Yang gagal terbaca dermaga
itu malam
tak ada gegar kabhanti menusuk teluk
tapi bula malino telah lama bulat
menggigit kelam langit wolio,
meledek temaram bukit kolema,
juga jengkal-jengkal
halaman putih pulau makassar
meluaskan mimpi senja hari
gelap, sepi, remuk di sini
di antara detak pasar malam
dan neon-neon meninggi
ada juga lagu Anggun C. Sasmi
merobek sunyi wajah
membunuh seru adzan isya masjid raya
kamali di sepuluh,
ketika cuaca melunturi musim
padamu paman,
akan kukabar kekalahan angin
lelah menghimpit
tegar patung naga
Bau-bau, 10-11 April 2009
CATATAN TENTANG I
ketika,
indonesia raya genapkan notasi senin pagi
rebus perak lazuardi gumamkan
kalimat embun meringkus aubade kata merdeka
lalu lekat pada pahit
merah-putih menuding langit
horizon itu mencintai banda, arafuru, flores, dan jawa
negeriku biru rebah dalam keranda
meski maut juga belum nyala
hanya lapar dahaga bersenyawa
sisir lelah cakrawala mematangkan
jarak pulau-pulau nusantara
merekam gelisah kita
tapi wangi melati terlanjur meludahi udara
menikam kebusukan nurani
para politisi juga tukang korupsi
jangan salahkan senja
jika merahnya menyindir luka-luka kita
jangan katakan kalau
karena aku takkan memuja kemarau
tanahmu,
hamparan harap meninggi ke pucuk awan
airmu,
melautkan mimpi
menendang sepi sebuah gurauan
tanahmu, airmu, berdarah dalam tubuhku
Kendari, 26 April 2009
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment