Thursday, March 3, 2011

Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya A.A Navis sebagai Karya Unik dari Sang Kepala Pencemooh


Wa Ode Rizki Adi Putri

Ali Akbar Navis atau A.A. Navis, Sang Kepala Pencemooh, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, 17 November 1924. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir begitu liat untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor pada waktu itu. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan, tapi jika diberi pilihan ia akan memilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor-koruptor tersebut. Sungguh semangat yang begitu besar dan mungkin sangat jarang kita temui pada generasi sekarang ini.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), ingga karya terakhirnya yang bertajuk Jodoh (1998).

*****

Beberapa waktu yang lalu ketika tengah asyik berselancar di dunia maya, saya menemukan sebuah situs yang menawarkan e-book¬ cerpen-cerpen A.A. Navis. Tanpa pikir panjang saya langsung mencoba mengunduhnya sebanyak dua kali, saya kira akan gagal karena jaringan yang buruk, tapi ternyata berhasil dengan sempurna. Ini merupakan sebuah kebetulan yang ajaib. Karena hari sebelumnya saya memang memendam keinginan untuk membaca lebih banyak memebaca dan mengenal karya-karya A.A. Navis. Keinginan saya begitu membuncah, apalagi setelah saya membaca karyanya yang cukup fenomenal yaitu cerpen “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini−menurut saya−merupakan trademark dari Sang Kepala Pencemooh.
Setelah membaca beberapa cerpen dari e-book tersebut, saya merasa tergelitik karena dari cerpen-cerpen yang saya baca itu, masing-masing memiliki kekuatan dan A.A. Navis tampak begitu terbuka daya pikirnya sehingga karya yang lahir tidak monoton dan tidak mudah ditebak. Dari sebelas cerpen yang disajikan dalam e-book, cerpen-cerpen yang sempat saya baca antara lain, Inyik Lunak Si Tukang Canang, Menanti Kelahiran, Angin Dari Gunung, Penangkapan, dan Dua Orang Sahabat. Masing-masing cerpen tersebut memiliki cara penyampaiannya sendiri dan menurut saya memang disitulah letak kelihaian A.A.Navis dalam menuangkan suatu suasana atau kejadian dalam alam pikarannya kedalam wadah nan istimewa prosa fiksi, khususnya cerpen.
Tanpa bermaksud sok tahu, saya yang masih sangat awam dalam hal menilai sebuah karya sastra mencoba menelaah sesuatu yang menarik dari cerpen-cerpen A.A. Navis. Dari pembacaan yang saya lakukan, saya kemudian memperbandingkan antara cerpem satu dan cerpen lainnya, khususnya dari segi cerita dan keberanian A.A. Navis dalam menggubah cerpen-cerpennya menjadi karya yang unik. Saya pun menarik kesimpulan bahwa cerpen bertajuk “Robohnya Surau Kami” yang di terbitkan tahun 1955 adalah karya yang paling unik dan begitu berani. Kekaguman saya pada penulis yang tak pernah merasa tua ini pun semakin besar dan membuat saya sadar, bahwa menulis itu membawa kita pada kehidupan yang sesungguhnya, yaitu dimana kita menghidupkan hal-hal baru melaui tulisan kita, dan akan lebih membanggakan lagi jika tulisan yang kita buat mampu mengubah cara pandangan seseorang yang begitu sempit terhadap sesuatu hal, menjadi lebih terbuka.
*****

Sesuai dengan judul yang saya cantumkan di atas, maka melalui uraian singkat ini, saya akan memaparkan pemikiran saya mengenai keunikan cerpen tersebut. Cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi saya) dibandingkan dengan cerpen A.A. Navis yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A. Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Tuhan Sang Maha Tinggi, Maha Pencipta. Hal inilah yang kemudian menjadikan cerpen ini begitu unik, lain dari biasanya, dan terlebih lagi cerpen ini lahir dalam atmosfir tahun 50-an. Kembali lagi mengenai pemunculan karakter Tuhan dalam cerpen, sepengetahuan saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin dan cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap saja berbeda.
Cerpen Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang begitu luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa “kejutan” karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali, jelas jika kemudian hal ini mengundang kontroversi karena dalam agama islam itu sendiri terdapat larangan untuk melukiskan atau mengimajinasikan rupa Tuhan. Sedangkan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” tidaklah seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah seorang muslim. Sungguh sebuah cerpen yang dapat digolongkan sebagai cerpen relijius, namun begitu ringkas dengan kesan mendalamnya bagi orang-orang yang berpikir.
Cerpen “Robohnya Surau Kami” yang terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955, juga merupakan Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisahnya yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Kisah yang begitu menyindir, namun menyindir atau tidaknya juga tergantung dari resepsi para pembacanya. Dalam cerpen ini gagasan atau pokok persoalan pun dituangkan sedemikian rupa oleh si penulis, sehingga jadilah amanat pokok yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima dalam kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Hal ini pula yang semakin menambah keunikan cerpen ini..
Adapun keunikan dari segi penokohan, tampak pada tokoh Ajo Sidi. Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si pembual. Julukan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Bualannya pun selalu mengena di hati pendengarnya. Perhatikan kutipan berikut :
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….

Keunikan juga hadir dari cara-cara penulis menggunakan simbol. Simbol yang digunakan begitu mengena dan tanpa butuh pemahaman tentang ilmu semiotika pun, kaum awam akan dengan mudah mengartikannya. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni “Robohnya Surau Kami”. Surau di sini merupakan simbol kesucian, karena dalam ajaran agama islam sendiri begitulah adanya. Surau atau masjid adalah tempat yang disucikan untuk beribadah. Terangnya, surau berkaitan erat dengan keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya, serta keserakahan yang begitu dahsyat. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur begitu saja. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya. Sungguh dalam pesan makna yang dalam hadir disini.
Menurut saya, cerpen ini menjadi refleksikan perspektif pemikiran sang penulis yang begitu jauh ke depan. Tentu yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi sekali lagi ini merupakan kerobohan dari segi tata nilai. Hal yang memang tengah terjadi saat ini di negeri kita yang begitu kaya ini. Dari cerpen ini pula saya mengetahui bahwa hampir tumbangnya bangsa kita telah berlangsung sejak dulu, dan tetap terjadi stagnasi hingga kini. A.A. Navis memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten, dan jujur pada dirinya sendiri.
Melalui tulisannyalah ia ingin memberontak. Kutukannya terhadap koruptor selalu ia gemakan dan ia ingin sekali berkesempatan untuk mengejar dan memberantas mereka. Tapi ia tetap menyadari, bahwa tulisan tidak cukup kuat untuk menyanggah yang timpang, menambal yang bocor, atau meluruskan yang terkoyak dari negeri ini. Semua dikembali pada penguasa, sekali lagi penguasa. Begitulah Sang Kepala Pencemooh menghadirkan karya unik yang tentunya ia harapkan agar pesan-pesan di dalamnya dapat terus berlanjut bak tongkat estafet pada para generasi penerus bangsa. Semoga pesan-pesan itu tetap menghidupkan semangatnya untuk membangun negeri ini, meski jasadnya telah kalah oleh usia pada Sabtu, 22 Maret 2003.
Sekian.
*****




DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rahmat Joko,dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sayuti, Suminto A. 1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta : DEPDIKBUD

Wiyatmi, 2006. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: Pustaka.

www.google.com (search engine) access : 23 December 2008 02.48 pm

www.wikipedia.com (ensiklopedi berbahasa Indonesia) November 2008

No comments: