Thursday, March 3, 2011

Ulasan Artikel Penelitian Sastra “Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis yang Belum Tergenggam” Karya Ahid Hidayat


Wa Ode Rizki Adi Putri

Belum banyak penulis yang tertarik untuk mengkaji aspek-aspek menarik dari kekayaan tradisi tulis di Sulawesi Tenggara. Artikel ini kemudian hadir dan kurang lebih menyiratkan keprihatinan penulis mengenai eksistensi Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia. Seseuatu yang kemudian menjadi relita tidak mengenakkan dalam tradisi tulis bumi anoa yang kita cintai ini. Padahal bila sedikit menoleh pada masa lalu, kita akan mendapati tradisi penulisan yang mengagumkan yang dirintis oleh sebuah kerajaan (yang kemudian berubah menjadi kesultanan) bernama Buton. Kerajaan yang berdiri ratusan tahun ini meninggalkan kekayaan warisan yang —dikatakan penulis — masih terpendam: naskah.
Tradisi ini berkembang dikalangan keluarga bangsawan Buton, maka lahirlah para penulis yang berhasil mencipta kegemilangan tradisi penulisan di masa itu. Muhammad Idrus Qaimuddin, Muhammad Isa Qaimuddin, Haji Abdul Ganiu, Haji Abdul Hadi, La Kobu, menjadi tokoh penulisan pada masa itu. Mereka ditatar langsung oleh para ulama yang datang ke Buton atas undangan para sultan.
Bertolak dari kenyataan tersebut, penulis menyatakan bahwa semestinya perkembangan sastra di Sulawesi Tenggara dapat menyamai kemajuan di daerah lain yang juga memiliki tradisi masa silam yang sama. Namun kenyataannya tidak demikian, sementara Riau telah melahirkan beberapa generasi sastrawan ternama, Sulawesi Tenggara hingga kini belum melahirkan sastrawan yang dikenal khalayak pembaca di seluruh Indonesia. Warisan tradisi tulis dari kesultanan Buton belum juga digali dengan baik sehingga belum juga lahir penulis-penulis yang dapat menorehkan nama Sulawesi Tenggara pada peta sastra Indonesia.
Dalam artikel ini penulis antara lain membahas posisi Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia, serta pertumbuhan sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara. Keberlanjutan tradisi tulis di bumi anoa ini, tentu menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Tidak hanya menarik, tetapi juga penting dilakukan mengingat tradisi kepenulisan kita belum banyak dipublikasi, bahkan tidak benar-benar dikenali oleh masyarakat Sulawesi Tenggara sendiri.
Penulis mengungkapkan fakta bahwa hanya ada satu buku sejarah sastra Indonesia yang mencatat kegiatan sastra di Sulawesi Tenggara, yaitu buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia karangan Yudiono K.S. Kemudian disebutkan pula ada dua sastrawan yang lahir di Sulawesi Tenggara. Tetapi mereka menjalani proses kepengarangan di daerah lain, sehingga eksistensi keduanya tidak serta-merta menjadikan provinsi kelahirannya sebagai kantong sastra yang patut diperhitungkan. Upaya menempatkan nama Sulawesi Tenggara untuk dikenal sebagai salah satu kantong sastra di Indonesia mulai dilakukan oleh beberapa penulis lokal antara lain. Syaifuddin Gani, Iwan Konawe, Galih, dan Sendri Yakti. Tentunya kehadiran mereka dapat menjadi harapan baru bagi masa depan Sulawesi Tenggara dalam dunia penulisan.
Penulis juga mengemukakan bahwa hadirnya komunitas-komunitas seni di provinsi ini memiliki peranan yang cukup berarti bagi pertumbuhan sastra. Berbagai komunitas sastra telah berhasil menerbitkan antologi puisi penyair lokal. Awal 2008 media cetak lokal kemudian ikut ambil bagian dalam pertumbuhan sastra, yaitu dengan menyediakan sebuah kolom apresiasi seni sastra dan seni budaya. berbagai cara terus di upayakan agar warisan tradisi tulis dapat digenggam dan budaya kepenulisan terus meningkat dan membangaun eksistensi Sulawesi Tenggara dalam dunia sastra nasional.

No comments: