Friday, March 4, 2011

LOOK I’M ON FIRE KARYA OLLIE SEBAGAI NOVEL KOMEDI KARYA PENULIS PEREMPUAN


Wa Ode Rizki Adi Putri

Perkembangan dunia sastra tidak terlepas dari kiprah para perempuan penulis. Pada jaman dahulu dunia sastra didominasi oleh penulis laki-laki. Lambat laun para perempuan penulis mulai berusaha masuk dan berperan serta dalam dunia sastra. Walaupun pada awalnya perempuan penulis masih terkekang oleh tradisi atau aturan yang ada. Akan tetapi, pada saat ini mereka dapat lebih leluasa mengekspresikan ide atau gagasan yang ada. Menurut Soenarjati Djajanegara, sebagaimana penulis feminisme masa lampau, novelis wanita modern sangat peduli terhadap ketimpangan-ketimpangan antara seni dan cinta, antara pemuasan diri dan tugas.

Hal tersebut mengakibatkan perempuan penulis dapat mengambil tema-tema atau istilah-istilah khusus yang dahulu didominasi oleh penulis laki-laki. Mereka Perempuan penulis menciptakan sebuah karya sastra sesuai dengan perspektifnya yang tentunya berbeda dengan perspektif penulis laki-laki. Secara obyektif kewanitaan mereka menjadi modal penting dalam memasuki ruang-ruang dan peluang yang kosong itu. Secara obyektif signifikansi karya-karya mereka juga terbangun karena telah menggarap persoalan-persoalan yang sebelumnya ditabukan bagi mereka, yaitu wilayah-wilayah pengetahuan, filsafat, dan seksualitas.

Keunggulan yang dimiliki oleh perempuan penulis terletak pada kesensitifannya dalam masalah yang berkenaan dengan wanita, seperti seksualitas. Dengan sudut pandang seorang wanita, karya sastra yang dihasilkan pastilah mengangkat tema-tema yang dominan disukai oleh mereka. Tema-tema yang banyak dijadikan obyek, yaitu masih berkutat sekitar kehidupan dan pengalaman wanita. Oleh karena itu, novel yang merupakan hasil karya perempuan penulis barangkali lebih diterima oleh para pembaca yang didominasi oleh wanita. Hal tersebut dikarenakan antara penulis dan pembaca memiliki dunia yang sama, yaitu dunia kewanitaan. Lebih lanjut, karya sastra yang dihasilkan barangkali lebih mengutamakan perasaan dan emosi. Kedua hal tersebut adalah sifat khusus yang dimiliki oleh wanita.

Namun, dalam makalah sederhana ini tidak akan dibahas lebih lanjut mengenai kepedulian penulis wanita terhadap ketimpangan-ketimpangan antara seni dan cinta, antara pemuasan diri dan tugas. Ataupun mengenai penggarapan cerita mereka yang menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan, filsafat, dan seksualitas. Makalah ini akan lebih menyinggung mengenai kekreatiftasan penulis wanita yang pada saat ini mereka dapat lebih leluasa mengekspresikan ide atau gagasan yang ada. Mereka pun menjadi pandai menentukan genre tulisan serta latar belakang cerita yang ia angkat. Dengan sudut pandang cerita yang tercipta dari penulis perempuan, tentunya karya-karya yang lahir juga akan lebih dekat dengan para pembaca perempuan itu sendiri. Merekapun kemudian berani mengambil genre komedi dalam menggarap tulisannya.

Begitu banyak perempuan penulis di Indonesia yang berkiprah dengan gayanya sendiri-sendiri, serta produktif dalam menciptakan karya sastra, antara lain, Fira Basuki, Dewi Lestari, Djenar Maesa Ayu, Oka Rusmini, Helvy Tiana Rosa dan lain-lain. Namun sangat jarang kita dengar penulis perempuan menulis novel komedi. Novel komedi lebih sering kita dengar kelahirannya dari tangan-tangan penulis Pria. Misalnya, Boim Lebon dengan Lupus, Raditya Dika dengan Kambing Jantan, Babi Ngesot, dan Cinta Brontosaurus, dan Aditya Mulya dengan novel Jomblo yang telah difilmkan. Dalam makalah ini, penulis akan membahas novel bergenre komedi Look I’m on Fire yang merupakan hasil karya Aulia Halimatussadiah a.k.a Ollie. Namanya mungkin belum banyak di kenal, tapi karya-karya yang dihasilkannnya telah mendapat pengakuan dari beberapa penulis muda Indonesia. Ollie, melalui karya-karyanya terlihat lebih mengkhususkan diri untuk menggarap novel-novel komedi romantis. Suatu pencapaian yang berbeda dari penulis wanita kebanyakan yang lebih memilih genre-genre dramatic dalam tulisannya. Ollie lahir di Yogyakarta pada tanggal 17 Juli 1983.


Ollie menghabiskan sebagian besar dari hidupnya dengan berpetualang dari pulau ke pulau di Indonesia. Itu merupakan resiko dari seorang anak yang orang tuanya harus berpindah-pindah kota karena tuntutan pekerjaan. Namun, dengan begitu Ollie jadi memiliki banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia. Ketika akhirnya berhenti hidup nomaden, ia memutuskan untuk hidup sendiri di Depok selama kuliahnya hingga bekerja menjadi Web Developer di salah satu perusahaan IT Solution di Jakarta. Ia telah bertahun-tahun menjadi penulis amatir untuk kepuasan abtinnya sendiri (dalam bentuk blog, diary, puisi, dan cerpen pribadi), serta mengisi kolom artikel di sebuah situs komunitas.

Novel Look I’m on Fire yang terbit pada tahun 2005 ini mengisahkan tentang seorang perempuan yang mencari the saviour, atau penyelamat hidupnya. Yaitu, seorang laki-laki misterius yang dengan ikhlas menjadikan tubuhnya sebagai matras untuk si perempuan yang jatuh dari lantai dua sebuah apartemen, ketika begitu panik ingin menyelamatkan boneka kesayangannya dari kebakaran di apartemen tersebut. Dengan sudut pandang seorang wanita, karya sastra yang dihasilkan pastilah mengangkat tema-tema yang dominan disukai oleh mereka, yaitu mengenai pencarian cinta dengan segala konfliknya. Namun, melalui novel ini pencarian cinta itu terasa begitu berbeda dari cerita kebanyakan. Diselingi begitu banyak peristiwa unik, di isi dengan karakter yang hidup, latar cerita yang menyentuh kehidupan nyata, komedi-komedi yang segar, tanpa melewatkan sisi romantis yang memang sulit dilepaskan dari novel-novel penulis perempuan. Berlatarbelakang kehidupan mahasiswa Indonesia di Seattle City, Amerika Serikat, tokoh-tokoh yang di hadirkan begitu mewakili kehidupan mahasiswa Indonesia di Seattle.

Setidaknya, itulah pengakuan dari beberapa mahasiswa Indonesia di Seattle yang menjadi pembaca novel Look I’m on Fire, dan sempat memberikan komentar pada sisi belakang novel ini. Begitu membaca novel Look I’m on Fire , semua orang akan menyangka bahwa si penulis pernah menetap lama di Seattle City. Atau setidaknya pernah berkunjung kesana, merasakan udaranya,dan berjalan-jalan di walking area nan teduh di downtown. Namun, kenyataannya berbeda semua hal itu hanyalah salah satu impian si penulis yang begitu ia tunggu terwujudnya. Ollie belum pernah datang ke Seattle, ia hanya mengenal kota ini dari dunia maya yang begitu ia cintai, serta hasil korespondensi dengan teman-temannya yang berada di Seattle. Hal inilah yang kemudian membuat Ollie menuai banyak pujian, karena Seattle dan segala komedi dalam novel ini ia buat begitu hidup dan mampu membuat para pembacanya terbang ke Seattle City melalui halaman-halaman kertas novel tersebut. Padahal suasana Seattle yang ia gambarkan lahir dari imajinasi-imajinasi liarnya, namun sangat mewakili atmosphere di kota itu. Nice comedi story with nicely picked setting, setidaknya itulah yang dikatakan oleh Danni Junus, penulis novel Eituze.
Ollie dinilai berhasil sebagai penulis novel komedi oleh para penulis novel komedi seniornya, seperti Boim Lebon, Raditya Dika, dan Adithya Mulya, karena begitu banyak joke-joke unik ciptaan Ollie yang hadir dalam cerita, namun tidak lantas membuat pembaca tidak merasa familiar dengan joke tersebut. Hal unik lain yang berhasil diciptakan si penulis adalah plot atau alur yang hadir. Caranya menghubungkan antara satu bab ke bab lain dengan cara maju mundur begitu apik. Sungguh novel komedi yang lain dari biasanya, apalagi penulisnya adalah seorang perempuan. Dimana perempuan masih kurang terdengar gaung kepenulisannya untuk genre komedi.

Thursday, March 3, 2011

Empat Puisi Tragedi Karya Sutardji Calzoum Bachri; Memaknai Konteks Situasi dan Budayanya


Wa Ode Rizki Adi Putri

Abstrak :
Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang memiliki makna. Ditulisnya karya yang oleh pengarang tidak terlepas dari situasi dan budaya yang melatarinya. Setiap karya sastra tentu memiliki pemaknaannya masing-masing. Karya sastra tidak akan mempunyai makna tanpa ada pembaca yang memberikan makna kepadanya. Seluruh konteks situasi dan budaya yang berhubungan dengan karya sastra itu haruslah diperhatikan dalam konkretisasi atau pemaknaan karya sastra. Permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimana memaknai konteks situasi dan budaya dalam empat puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang —menurut saya bertemakan penderitaan dan tragedi. Melakukan pembacaan terhadap karya-karya salah satu pendobrak konvensi penciptaan puisi di Indonesia ini adalah hal yang begitu menarik bagi saya. Meskipun tipografi, pemotongan kata, dan adanya kata yang dibolakbalikkan dalam beberapa puisinya mungkin akan membuat pembaca awam tidak dapat menangkap pesan yang ingin ia sampaikan. Saya meyakini ada maksud atau pemaknaan mendalam dari puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, sang pembaharu puisi Indonesia modern. Oleh karena itu, penggalian konteks situasi dan budaya dalam karya-karya uniknya penting untuk dilakukan. Kiranya hal ini juga dapat memperbesar apresiasi pembaca terhadap karya-karya Sutardji Calzoum Bachri.


Konteks Bahasa, dan Puisi

Menurut ilmu linguistik, bahasa terikat oleh konteks situasi dan konteks budaya bahkan bahasa dipandang sebagai bentuk perluasan budaya manusia. Setiap bahasa menunjukkan suatu dunia simbolik yang khas yang melukiskan realitas pikiran, pengalaman batin dan kebutuhan pemakainya. Bahasa memungkinkan kita menyandi peristiwa dan objek-objek dalam bentuk kata-kata. Dengan bahasa kita dapat mengabstraksikan pengalaman kita dan mengkomunikasikannya dengan orang lain. Puisi sebagai produk bahasa tentunya tidak lepas dari sifat dan berbagai kecenderungan bahasa yang tersebut di atas.
Namun, apakah sesungguhnya yang diberikan puisi kepada kita? Bila kita percaya pada kata Chairil Anwar dulu, puisi adalah “sebuah dunia yang menjadi”, maka “dunia yang menjadi” itulah yang kiranya diberikan puisi kepada kita. Sebagai “dunia yang menjadi” tentulah dari hari ke hari, waktu ke waktu, puisi dapat tumbuh dan terus tumbuh meresap dalam diri dan atau pengalaman pembacanya. Anggapan semacam itu mengandaikan puisi, lebih tepatnya “makna” puisi, adalah dunia yang kompleks, berlapis-lapis, sehingga nyaris mustahil dipahami secara pasti dan berhenti. Inilah yang membedakannya dengan “informasi” atau “pengetahuan” yang justru merangkum sesuatu dalam pemahaman sesuatu yang dihadirkannya. Pada hakikatnya ia adalah representasi realitas. Sebagai representasi realitas, puisi menjadi jalan pelampiasan rasa kesal, lahan caci maki atas segala rasa benci dan kemunafikan hidup, protes akan ketidakadilan, bahkan bisa dijadikan sebuah media laporan perasaan yang sangat egosentris bagi si penulisnya. Inilah keistimewaan sastra.
Bahasa puisi adalah bahasa personal yang juga manipulatif. Karena dalam puisi, seorang bisa sangat jujur tentang konsep dirinya atau sebaliknya. Kata bisa dimanipulasi secara bebas format semantis yang baku, bahkan lebih dari itu, kata bisa gali esensi maknanya tanpa harus merusak struktur fisik kata tersebut. Untuk menggali makna atau hal-hal yang tersirat tersebut dibutuhkan perhatian yang mendalam sehingga seseorang dapat benar-benar menghayati dan menyingkap maksud yang tampak secara implisit tersebut. Seluruh konteks yang berhubungan dengan puisi itu haruslah diperhatikan dalam konkretisasi atau pemaknaannya. Apalagi konteks situasi and konteks budaya sebagai latar penciptaan yang menurut saya paling esensial.
Puisi merupakan teks yang potensial memunculkan berbagai konsep ide secara bersamaan atas berbagai diksi kreatif.. Kata-kata dalm puisi bisa disungsangkan pengertiannya, dibelokkan makna dasarnya, atau dibentuk dengan wujud yang sebebas mungkin sekehendak pribadi sang penyair. Pemahaman terhadap konteks situasi dan budaya dalam suatu karya sastra —puisi akan mengantarkan pembaca kepada pemaknaan yang bukan hanya sekedar pemaknaan biasa. Pembaca kurang lebih akan dapat menangkap maksud atau pesan yang terkandung, bahkan latar belakang ditulisnya karya sastra tersebut. Tentunya hal inilah yang juga menjadi harapan dari para pengarang atau pencipta karya sastra —agar karya sastra dapat menjadi media yang dapat mengomunikasikan ide atau pandangannya terhadap suatu hal.
Dalam tulisan sederhana ini, penulis akan mengkaji puisi-puisi karya Sutardji Calzoum Bachri. Dami N. Toda menyebut Sutardji Calzoum Bachri dan Chairil Anwar sebagai pendobrak konvensi penciptaan puisi Indonesia. Sutardji Calzoum Bachri merupakan salah satu penyair sufi Indonesia terkemuka. Ia juga kita kenal sebagai cerpenis, eseis dan budayawan. Lahir di Rengat Riau 24 Juni 1941, ia terkenal sejak awal 1970-an tatkala mengumumkan Kredo Puisi-nya (1973) “kata harus dibebaskan dari beban pengertian” yang mendasari sebagian besar dari puisi-puisi ciptaannya. Kredo puisi Sutardji pada masa itu serta-merta menimbulkan kontroversi dalam kesusastraan Indonesia. Kumpulan puisi Sutardji diantaranya O (1973), Amuk (1979), dan O Amuk Kapak (1981). Kecenderungan sufistiknya sangat nampak pada kumpulan puisi ketiganya O Amuk Kapak.
Sebagai penikmat puisi, membaca karya-karya Sutardji Calzoum Bachri membawa saya pada pengalaman baru yang cukup membingungkan. Bagaimana tidak, dari puisinya saya menemukan berbagai bentuk diksi yang tak lazim, tipografi yang unik, dan gaya mantra yang begitu kental. Pantaslah kiranya jika ia disebut sebagai sang pembaharu di dunia puisi modern Indonesia. Pembacaan itu mengisi pemikiran sederhana saya dengan suatu kebaruan yang menggelitik. Dihadirkannya berbagai makna tersurat dan “memaksa” saya mencari maknanya. Memanglah benar bahwa bahasa puisi takdirnya berbeda dengan bahasa sehari-hari. Bila pesan dalam bahasa percakapan sehari umumnya disampaikan langsung, puisi justru menunda. Penudaan itulah yang mestinya mengundang kenikmatan bagi pembaca. Itulah yang saya rasakan ketika ada ketidaklangsungan makna yang harus saya cerna. Sutardji sebagai penyair adalah orang yang mahir memainkan permainan makna itu.
Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan dalam tulisan ini adalah bagaimanakah pemaknaan konteks situasi dan budaya dalam empat puisi karya Sutardji Calzoum Bachri yang bertemakan penderitaan dan tragedi. Adanya tulisan ini diharapkan dapat melahirkan pemahaman baru bagi pembaca awam mengenai pesan yang ingin disampaikan pengarang dalam karya sastra yang ia hasilkan. Diharapkan pula pemahaman tersebut dapat memperbesar apresiasi terhadap karya sastra (puisi) khususnya karya karya unik dari Sutardji Calzoum Bachri sebagai pembawa warna baru dalam puisi Indonesia. Adapun puisi-puisi yang bertemakan penderitaan dan tragedi yang akan dikaji sebanyak empat puisi yaitu: Tragedi Sihka dan Winka, Luka, Tanah Air Mata, dan Belajar Membaca.

Sutardji dan Puisi Tragedinya

Menulis puisi bagi Sutardji adalah membebaskan kata-kata. Dari penggunaan gaya bahasa pada puisi-puisi sutardji, dapat dilihat bahwa sutardji adalah seorang penyair kontemporer yang banyak memberi andil kepada perkembangan bahasa Indonesia. Ia tidak lagi bertahan pada gaya bahasa personifikasi untuk mendapatkan pengucapan puitik. Pengalaman puitik itu ia dibangun dengan gaya bahasa mantera dalam segala variasinya. Sutardji adalah penyair sufistik. Puisinya kebanyakan berisi perenungan mendalam akan sesuatu. Kata-katanya bagi saya mengandung daya magis yang ditata begitu baik dalam hal penundaan makna puisi. Saya kemudian tertarik pada badai tragedi yang melingkupi empat puisi yang saya sebutkan di atas. Tragedi begitu terrefleksi dari diksi, tipografi, teknik pembolakbalikan kata, dan ungkapan-ungkapan yang membawa kebaruan.
Sutardji begitu lihai mengelaborasi kata-kata sederhana menjadi sebuah gambaran nyata akan tragedi dan penderitaan. Saya memang tidak mempunyai referensi yang menjelaskan maksud dicetuskannya tema-tema demikian dalam beberapa puisi Sutardji. Perihal ketertarikan Sutardji untuk mengangkat tema-tema demikian, saya menangkap sebuah konklusi tersendiri. Ia mengajak kita untuk menelusuri fenomena sekitar kita dengan cara sastra. Cara yang membawa kita pada keharusan untuk benar-benar memfungsikan wilayah kepekaan di hati kita dalam memandang suatu masalah. Seringkali kita tidak sadar bahwa kita tengah hidup diantara gelimangan tragedi bahkan kemudian kita pun terbiasa memicu hadirnya tragedi itu. Tragedi hilangnya jati diri, tragedi kekecewaan pada tanah air, hingga tragedi lahirnya rasisme yang memecah kepedulian dan persaudaraan.
Berikut puisi-puisi Sutardji yang akan coba dimaknai:

TRAGEDI SIHKA DAN WINKA
kawin
kawin
kawin
kawin
kawin
ka
win
ka
win
ka
win
ka
win
ka
winka
winka
sihka
sihka
sihka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
ka
sih
sih
sih
sih
sih
sih
ka
Ku

Puisi berjudul “Tragedi Sihka dan Winka” merupakan salah satu karya Sutardji yang cukup fenomenal. Bagaimana tidak, puisi tersebut memiliki tipografi yang sangat berbeda dari puisi kebanyakan. Teknik persajakan denggan memotong-motong kata dan membalikkan suku kata seperti itu belum pernah terjadi dalam perpuisian indonesia modern sebelumnya. Puisi ini banyak mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, yang kebanyakan berpendapat bahwa puisi tersebut hanya “bermain-main”.
Ketidaklangsungan ekspresi sajak itu, berupa kombinasi makna nonsense dan tipografi. Yang perlu diterangkan lebih lanjut adalah tipografi (tata huruf) yang sejak tahun 1970 dalam perpuisian indonesia sampai sekarang menjadi mode di antara penyair muda, dipergunakan untuk menciptakan makna. Biasanya makna yang ingin diciptakan adalah makna ikonik atau indeksis.
Sajak tersebut hanya terdiri dari dua kata ‘kawin’ dan ‘kasih’, yang dipotong-potong menjadi suku kata-suku kata, juga dibalik menjadi ‘winka’ dan ‘sihka’. Tipografi sajak tersebut berdasarkan konteks strukturnya dapat diberi makna (salah satu makna) sebagai pengalaman hidup yang tidak menyenangkan. Di situ digambarkan sebagai susunan huruf, tulisan, yang berbentuk zigzag, berbelok-belok tajam sebagai jalan berliku yang membahayakan. Arti sebuah sajak bisa saja terlihat dari teknik penulisannya, dan hal inilah yang ingin disampaikan Sutardji dalam puisinya ini.
LUKA
ha ha
Puisi ini adalah salah satu puisi Sutardji yang bagian-bagiannya tersusun dengan interjeksi atau bunyi-bunyi murni. Kata-kata puisi ini dengan sendirinya tidak bermakna karena interjeksi sesungguhnya bukan sebuah kata melainkan bunyi. Berbeda dengan Tragedi Sihka dan Winka yang bertipografi zigzag puisi itu hanya tersusun dari perulangan horizontal bunyi murni ha (ha ha). Kesan tragedinya hadir dari judul yang begitu menusuk; Luka.
Bagi orang yang awam atau asing dengan karya-karya atau sosok kepenyairan Sutardji khususnya puisi ini, pasti tidak sangsi kalau ada puisi yang hanya terdiri dari “ha ha” saja. Saja jadi teringat akan diskusi mata kuliah menulis kreatif semester lalu. Salah seorang teman saya juga pernah menanyakan makna puisi Luka pada dosen pembimbing mata kuliah. Makna dan penciptannya memang layak mengundang pertanyaan dengan sedikit kerut di dahi. Pertanyaan seputar karya-karya Sutardji mungkin hanya akan terpuaskan ketika si empunya karya yang menjelaskan secara langsung. Akan tetapi setelah diperhatikan secara keseluruhan, yang perlu kita ketahui hanya satu hal. Pastilah semua aspek karya itu memiliki maksud. Saya yakin seluruh konsep makna yang ingin disampaikan Sutardji melalui puisi ini, akan nampak gamblang jika dideklamasi dalam bentuk teatrikal.
TANAH AIR MATA
Tanah airmata tanah tumpah dukaku
mata air airmata kami
airmata tanah air kami
di sinilah kami berdiri
menyanyikan airmata kami
di balik gembur subur tanahmu
kami simpan perih kami
di balik etalase megah gedung-gedungmu
kami coba sembunyikan derita kami
kami coba simpan nestapa
kami coba kuburkan duka lara
tapi perih tak bisa sembunyi
ia merebak kemana-mana
bumi memang tak sebatas pandang
dan udara luas menunggu
namun kalian takkan bisa menyingkir
ke manapun melangkah
kalian pijak airmata kami
ke manapun terbang
kalian kan hinggap di air mata kami
ke manapun berlayar
kalian arungi airmata kami
kalian sudah terkepung
takkan bisa mengelak
takkan bisa ke mana pergi
menyerahlah pada kedalaman air mata
Melakukan pembacaan terhadap puisi diatas membawa saya pada penemuan akan larik ekspresif, reflektif, sarat kritik dan renungan. Tanah Air Mata adalah sebuah puisi sarat makna dengan menggunakan metafora air mata sebagai sumber pemaknaan yang terus dikembangkan sepanjang bait-baitnya oleh Sutardji. Tampaknya ia memang tampil dengan ciri khas pengulangan kata atau suku kata tertentu. Begitupun yang tampak pada puisinya yang berikut ini.
BELAJAR MEMBACA
kakiku luka
luka kakiku
kakikau lukakah
lukakah kakikau
kalau kakikau luka
lukakukah kakikau
kakiku luka
lukakaukah kakiku
kalau lukaku lukakau
kakiku kakikaukah
kakikaukah kakiku
kakiku luka kaku
kalau lukaku lukakau
lukakakukakiku lukakakukakikaukah
lukakakukakikaukah lukakakukakiku
Hadirnya sajak ini kembali menegaskan bahwa sajak-sajak Sutardji memungkinkan kita untuk melakukan berbagai ragam pembacaan yang kreatif, dan tentu juga pemaknaan yang variatif. Kesan tragedi kembali dipresentasikan dengan hadirnya kata luka yang diulangi sebanyak tujuh belas kali. Kata luka hampir hadir disetiap larik.
Konteks Situasi dan Konteks Budaya dalam Puisi Sutardji Calzoum Bachri
Untuk dapat memberikan makna pada setiap puisi Sutardji tidaklah mudah karena memang puisi Sutardji berbeda dengan puisi-puisi umumnya. Tapi tentu saja kita tidak boleh menyerah begitu saja. Meskipun susah, kita tetap harus mencoba untuk membedahnya. Hal pertama yang harus dilakukan dalam membedah puisi adalah dengan membacanya berulang-ulang serta mencoba untuk memahaminya. Setelah itu, untuk menyikapi puisi-puisi Sutardji, dapat dilihat dengan banyaknya kata-kata yang tidak wajar sususannya. Kemudian, rasakan efek dari perubahan kata-kata itu, barulah makna dari puisi-puisi Sutardji dapat diketahui.
Terkadang kita juga perlu untuk melihat tampilan puisi Sutardji. Kita harus melihat bagaimana puisi tersebut dipentaskan layaknya pementasan teaterikal sehingga efeknya lebih terasa. Akan tetapi, makna dari sebuah puisi bagi setiap orang tidaklah harus sama, untuk itu tidaklah ada makna yang mutlak benar 100%. Namun, terlepas dari itu semua, pada dasarnya setiap jenis karya sastra tidak dapat tercipta tanpa adanya konteks yang mendasarinya. Karena untuk mengkaji lebih jauh mengenai karya-karya tersebut, kita harus mengenalinya berdasarkan konteks yang melahirkan karya tersebut. Berikut, puisi di atas akan dikaji berdasarkan dua konteks di bawah ini :
1. KONTEKS SITUASI
Memandang dari konteks situasinya, puisi “Tragedi Sihka dan Winka” memang dimaksudkan untuk menggambarkan suatu keadaan dalam fragmen kehidupan nyata. Kata kawin, kasih, winka, sihka, ka – win, dan ka – sih, adalah tanda-tanda bermakna. Logika tanda tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut.
(Dikutip dari Pengkajian Puisi : Rachmat Djoko Pradopo)
“Bila kata itu utuh, sempurna seperti aslinya, maka arti dan maknanya sempurna. Bila kata-kata dibalik, maka maknanya pun terbalik, berlawanan dengan kata aslinya.”
Dari pernyataan itu kita dapat menarik kesimpulan bahwa, dalam kata “kawin” terkandung konotasi makna kebahagiaan, sedangkan “winka” itu mengandung kesengsaraan. Kawin adalah persatuan, sebaliknya winka adalah perceraian. Kasih itu berarti cinta, sedangkan sihka itu kebencian. Kawin dan kasih adalah kebahagiaan, sedangkan winka dan sihka adalah kesengsaraan. Bila kawin dan kasih menjadi winka dan sihka, maka itulah tragedi kehidupan. Demikian pula dengan tipografinya yang menggambarkan jalan pengalaman berliku dan penuh bahaya.
Efek magis mungkin sudah menjadi trade mark puisi Sutardji. Lewat judulnya saja sudah cukup membuat tanda tanya yang besar, apa arti dari tragedi sihka dan winka? Tentu saja tidak akan ditemukan arti kata sihka dan winka dalam kamus karena ini memang stategi pembebasan kata yang dilakukan oleh Sutardji. Bila diperhatikan lebih lanjut, efek yang diperoleh dari perulangan kata-kata yang tidak jelas artinya ini seakan-akan menunjukkan sesuatu yang gaib. Penggunaan kata-kata yang tidak jelas seperti ini sering digunakan orang pada zaman dahulu untuk melakukan suatu pemujaan, karena dengan semakin tidak dimengerti maksudnya maka kekuatan atau energi magis yang diperoleh akan semakin meningkat. Mungkin hal itulah yang ingin disampaikan oleh Sutardji.
Selanjutnya puisi “Luka”. Pemaknaan konteks situasi yang hadir dalam isi puisi tersebut sebenarnya sangat tergantung dari cara pandang pembaca. Teks di dalam puisi ini hanyalah bentuk penyandian dari bunyi murni. Saya sendiri berpendapat bahwa dalam sudut pandang tertentu antara judul dan isi puisi ini tidak terjadi korelasi yang tepat. Biasanya orang yang terluka akan merasakan sakit dan yang diucapkannya adalah representasi dari rasa sakitnya itu, misalnya dengan mengaduh atau meneriakkan kata sakit. Tapi yang hadir dalam puisi ini justru penyandian terhadap interjeksi rasa senang bahkan tawa; haha. Mengacu pada pengalaman diskusi saya terdahulu, pada konteks situasi keprihatinan mungkin dapat diartikan kalau puisi tersebut melambangkan perasaan seseorang yang sudah kebal dengan luka yang merupakan simbol penderitaan. Ketika seseorang ini terluka, ia tidak lagi mengungkapkan sakit. Ia bahkan melahirkan tawa. Pada konteks situasi yang lain ―entah bagaimana, mungkin puisi ini juga dapat menggambarkan tentang seseorang yang tidak berperasaan dan menertawai luka orang lain. Puisi ini dapat menjadi ejekan kepada orang lain yang tengah menderita.
Puisi “Tanah Air Mata” menggambarkan situasi kesedihan. Hal ini jelas terbaca pada metafora air mata yang menjadi dasar dibangunnya ungkapan-ungkapan tragedi pada bangun larik dan bait puisi ini. Kurang lebih frasa airmata yang hadir merepresentasikan kesedihan seseorang atau si aku lirik —kami akan keadaan tanah airnya. Si aku lirik menilai tanah airnya sebagai tanah air mata yang mengundang ironi tersendiri baginya. Ungkapan mata air airmata kami, menyanyikan airmata kami, hingga ungkapan menyerahlah pada kedalaman air mata mewakili konteks situasi dan kondisi sosial suatu masyarakat yang masih terpuruk, tersisihkan secara politik, pendidikan, budaya, maupun ekonomi. Hingga kehidupan kami yang menjadi aku lirik dalam puisi ini, sepenuhnya tenggelam dalam gelimang air mata sebagaimana larik terakhir puisi tersebut. Puisi ini bisa jadi merupakan bentuk keprihatinan Sutardji sebagai penulis akan keadaan Indonesia yang keadaannya kurang lebih seperti gambaran puisi Tanah Air Mata. Konteks situasi dalam puisi ini mewakili perasaam masyarakat bawah di Indonesia.
Adapun puisi “Belajar Membaca” jika kita teliti lebih lanjut, puisi ini berisi pernyataan dan pertanyaan. Si aku lirik pada larik pertama dan kedua menyatakan bahwa kakinya terluka. Ilmu faal menyatakan, kaki adalah anggota tubuh yang lebih sulit sembuh jika terjadi luka, dibandingkan dengan anggota tubuh yang lain. Kaki, jika terluka harus mengalami perlakuan khusus dan dirawat secara hati-hati. Inilah alas an yang paling logis mengapa si aku lirik menyatakan yang terluka adalah kakinya. Kemudian di larik selanjutnya si aku lirik betanya pada seseorang yang lian untuk memastikan adakah orang lain yang teluka selain dia. Larik selanjutnya kembali berisi pertanyaan yang kali ini mengandung pengandaian. Selang-seling antara pernyataan dan pertanyaan itulah yang menimbulkan rangsang pikir, kemudian dari situ bangkitlah makna. Dalam bahasa sehari-hari pesan yang disampaikan dalam sajak ini mungkin bisa kita uraikan begini: aku luka, kamu luka jugakah? Aku sakit, kamu merasakan juga sakitku? Kalau kakiku sakit karena luka, apakah kakiku ini kakimu juga? Sajak ini sebenarnya mengajak kita belajar membaca solidaritas, belajar membaca kepedihan orang lain: peka. Saya pernah membaca pernyataan Sutadji “Ini tentang kesetiakawanan," kata Sutardji kala itu, kurang lebih. Saya sebagai mahasiswa yang masih belajar memaknai dunia sastra masih sangat sulit menjelaskan konsep diatas, apalagi kata telah dibebaskan oleh Sutardji dalam puisi-puisinya. Tapi bertolak pada konsep makna puisi yang dikembalikan pada pembaca, saya sebagai pembaca punya kebebasan untuk menganalisis makna itu.
2. KONTEKS BUDAYA
Mengenali puisi ini dari segi konteks budayanya, terbilang cukup sulit bagi saya. Karena puisi-puisi Sutardji kurang menonjolkan aspek budayanya. Tapi puisi tataplah produk bahasa, dan bahasa adalah bentuk perluasan budaya. Dari puisi Tragedi Sihka dan Winka yang menghadirkan kata kasih dan kawin, satu hal yang dapat kita petik adalah rasa kasih sayang ternyata mampu mengikat berbagai budaya dalam tali perkawinan. Selayaknyalah rasa kasih itu patut dijaga agar tidak perlu timbul berbagai tragedi dan jalan kehidupan yang berkelok-kelok dan melelahkan.
Tragedi yang sebenar-benarnya dalam kehidupan kita adalah hampir hilangnya rasa kasih dalam setiap sendi kehidupan. Hal ini tidak dapat kita pungkiri dan kian hari keadaan ini kian nyata. Tentu dapat kita bayangkan akan berapa banyak lagi tragedi yang akan terjadi setelah terkikisnya kasih di antara sesama manusia. Sepatutnya kita berusaha menjaga kasih itu agar tidak perlu patah, atau berubah menjadi benci. Kasih sayang bukanlah penyebab utama adanya perkawinan. Namun, tanpa adanya kasih sayang tidak akan ada perkawinan yang indah.
Dari puisi ini kita dapat memaknai kasih dan kawin dari sudut pandang yang lain, serta mengenali sebuah tragedi lebih dekat. Dengan membudayakan kasih sayang sesama manusia, tidak hanya perkawinan yang akan terselamatkan, tetapi juga turut mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia. Baik sebagai makhluk sosial, maupun sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang dikaruniai akal budi.
Puisi yang lebih unik lagi konteks budayanya adalah “Luka”. Melalui puisi inilah, sekali lagi Sutardji membebaskan kata-kata dari tradisi tua yang membelenggu yang dalam keseharian kita, ketika kata cenderung dipergunakan sebagai alat untuk menyampaikan pengertian dan dilupakan kedudukannya yang merdeka sebagai pengertian itu sendiri. Padahal, jika kata dibebaskan berbagai kreatifitaspun dimungkinkan. Interjeksi kemudian diwujudkan dalam pengungkapan puisi ini. Adapun konteks budayanya hadir tersirat dalam interjeksi itu. Haha, bisa jadi merupakan ungkapan budaya simpati. Mengajak seseorang yang tengah teluka untuk tidak larut dalam kepedihan.
Tragedi seringkali membawa kita pada liku kehidupan yang melelahkan. Kurang lebih seperti itulah yang mungkin ingin dikomunikasikan si penulis pada para pembaca. Mungkin disinilah Sutardji ingin menunjukkan bahwa puisi tidak sakadar kata yang ditulis dalam buku dan disimpan serta hanya bisa dinikmati lewat visual saja tetapi bisa juga dinikmati secara total, yaitu dengan menggunakan audio visual. Puisi itu dibuat bukan sekadar ditulis, tetapi harus dapat dilihat dan didengar langsung peragaannya dalam vokal, gerak tubuh, ritme, dinamik serta warna. Jadi puisi bukan sekadar puisi dalam pengalaman konvensional, tetapi ialah juga teater atau penampilan yang konkrit sehingga unsur-unsur “beyond the word” tadi dapat sekaligus dijamah pancaindera tanpa ditamengkan oleh suatu keadaan yang masih dipertanyakan warna-dinamik-tempo serta jurus asosiasinya. Dari puisi dituntut pertanggungan jawab yang lebih konkrit. Karena kata ternyata belum lengkap ampuhnya menampung serta mengekspresikan hayatan estetik manusia.
Penutup
Berdasarkan kajian struktural-semiotik terhadap sepuluh puisi karya Chairil Anwar yang bertemakan wanita di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Chairil Anwar mencerminkan citra wanita masa kini, diharapkannya pembaca (khususnya kaum hawa) selalu dapat menjaga harkat dan martabat serta menjunjung harga diri wanita sebagaimana adat Tmur. Modernisasi bukanlah berarti westernisasi, jadilah wanita yang menampilkan jati dirinya bukan yang ikut-ikutan (ke-Barat-Barat-an). Selain itu, bahasanya yang indah, sopan, dan tidak vulgar membuat pembaca semakin apresiatif dan berusaha menggali terus makna yang terkandung di dalam puisi-puisinya. Chairil Anwar sebagai pengarang dari puisi- puisi tersebut memang patut disebut sebagai penyair Indonesia modern. Hal ini terbukti dari kesepuluh puisi yang bertemakan wanita tersebut yang ditulisnya pada tahun 1940-an saat ini masih langgeng dan tidak usang, bahkan seolah-olah ia tahu apa yang akan terjadi pada tahun 2000-an (walaupun dia sudah meninggalkan kita lebih kurang 60-an tahun yang lalu). Selain itu, puisipuisinya penuh dengan kepekatan, kekayaan, dan keplastisan bunyi serta kelangsungan ungkapanlah yang membuat puisinya hingga kini masih tetap eksis dan tidak lapuk dimakan usia.
Setelah melihat puisi-puisi sutardji diatas, dapat diketahui bahwa ungkapan-ungkapan Sutardji banyak mengumandangkan hasrat kebebasan. Hal ini identik dengan asas kepenyairannya dan landasan ide puisi-puisinya. Sebagai puisi spiritual, puisi-puisi Sutardji sangat kaya dengan simbol atau lambang.


DAFTAR PUSTAKA
Barnas. “Analisis Puisi Itu Gampang, Lho!” {online} diperoleh dari http://blogkang barnas.htm, diakses tanggal 25 November 2009
Budianta, Melani,dkk. 2002. Membaca Sastra. Jakarta: IndonesiaTera
Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta
Fiya. “Sejarah Sastra”{online} diperoleh dari http://multiply.com, diakses tanggal 25 November 2009
Hidayat, Ahid. 2009. Kontra Propaganda dalam Drama Propaganda Sejumlah Telaah. Kendari : FKIP Unhalu
Horison No. 5 Th. XLIII, Mei 2009
Horison No. 6 Th. XLIII, Juni 2009
Murdiyanto, Bayu. “Puisi Sutardji Calzoum Bachri” {online} diperoleh dari http://blogger.com, diakses tanggal 25 November 2009
Pradopo, Rachmat Djoko. 1990. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wiyatmi, 2006. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: Pustaka

Ulasan Artikel Penelitian Sastra “Sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara: Warisan Tradisi Tulis yang Belum Tergenggam” Karya Ahid Hidayat


Wa Ode Rizki Adi Putri

Belum banyak penulis yang tertarik untuk mengkaji aspek-aspek menarik dari kekayaan tradisi tulis di Sulawesi Tenggara. Artikel ini kemudian hadir dan kurang lebih menyiratkan keprihatinan penulis mengenai eksistensi Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia. Seseuatu yang kemudian menjadi relita tidak mengenakkan dalam tradisi tulis bumi anoa yang kita cintai ini. Padahal bila sedikit menoleh pada masa lalu, kita akan mendapati tradisi penulisan yang mengagumkan yang dirintis oleh sebuah kerajaan (yang kemudian berubah menjadi kesultanan) bernama Buton. Kerajaan yang berdiri ratusan tahun ini meninggalkan kekayaan warisan yang —dikatakan penulis — masih terpendam: naskah.
Tradisi ini berkembang dikalangan keluarga bangsawan Buton, maka lahirlah para penulis yang berhasil mencipta kegemilangan tradisi penulisan di masa itu. Muhammad Idrus Qaimuddin, Muhammad Isa Qaimuddin, Haji Abdul Ganiu, Haji Abdul Hadi, La Kobu, menjadi tokoh penulisan pada masa itu. Mereka ditatar langsung oleh para ulama yang datang ke Buton atas undangan para sultan.
Bertolak dari kenyataan tersebut, penulis menyatakan bahwa semestinya perkembangan sastra di Sulawesi Tenggara dapat menyamai kemajuan di daerah lain yang juga memiliki tradisi masa silam yang sama. Namun kenyataannya tidak demikian, sementara Riau telah melahirkan beberapa generasi sastrawan ternama, Sulawesi Tenggara hingga kini belum melahirkan sastrawan yang dikenal khalayak pembaca di seluruh Indonesia. Warisan tradisi tulis dari kesultanan Buton belum juga digali dengan baik sehingga belum juga lahir penulis-penulis yang dapat menorehkan nama Sulawesi Tenggara pada peta sastra Indonesia.
Dalam artikel ini penulis antara lain membahas posisi Sulawesi Tenggara dalam peta sastra Indonesia, serta pertumbuhan sastra Indonesia di Sulawesi Tenggara. Keberlanjutan tradisi tulis di bumi anoa ini, tentu menjadi hal yang menarik untuk ditelaah. Tidak hanya menarik, tetapi juga penting dilakukan mengingat tradisi kepenulisan kita belum banyak dipublikasi, bahkan tidak benar-benar dikenali oleh masyarakat Sulawesi Tenggara sendiri.
Penulis mengungkapkan fakta bahwa hanya ada satu buku sejarah sastra Indonesia yang mencatat kegiatan sastra di Sulawesi Tenggara, yaitu buku Pengantar Sejarah Sastra Indonesia karangan Yudiono K.S. Kemudian disebutkan pula ada dua sastrawan yang lahir di Sulawesi Tenggara. Tetapi mereka menjalani proses kepengarangan di daerah lain, sehingga eksistensi keduanya tidak serta-merta menjadikan provinsi kelahirannya sebagai kantong sastra yang patut diperhitungkan. Upaya menempatkan nama Sulawesi Tenggara untuk dikenal sebagai salah satu kantong sastra di Indonesia mulai dilakukan oleh beberapa penulis lokal antara lain. Syaifuddin Gani, Iwan Konawe, Galih, dan Sendri Yakti. Tentunya kehadiran mereka dapat menjadi harapan baru bagi masa depan Sulawesi Tenggara dalam dunia penulisan.
Penulis juga mengemukakan bahwa hadirnya komunitas-komunitas seni di provinsi ini memiliki peranan yang cukup berarti bagi pertumbuhan sastra. Berbagai komunitas sastra telah berhasil menerbitkan antologi puisi penyair lokal. Awal 2008 media cetak lokal kemudian ikut ambil bagian dalam pertumbuhan sastra, yaitu dengan menyediakan sebuah kolom apresiasi seni sastra dan seni budaya. berbagai cara terus di upayakan agar warisan tradisi tulis dapat digenggam dan budaya kepenulisan terus meningkat dan membangaun eksistensi Sulawesi Tenggara dalam dunia sastra nasional.

Cerpen “Robohnya Surau Kami” Karya A.A Navis sebagai Karya Unik dari Sang Kepala Pencemooh


Wa Ode Rizki Adi Putri

Ali Akbar Navis atau A.A. Navis, Sang Kepala Pencemooh, lahir di Kampung Jawa, Padang Panjang, 17 November 1924. Entah mengapa julukan ini sampai padanya. Mungkin karena ia adalah salah seorang tokoh yang ceplas-ceplos dan apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir begitu liat untuk membangunkan kesadaran setiap pribadi agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para kopruptor pada waktu itu. Pada suatu kesempatan ia mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan, tapi jika diberi pilihan ia akan memilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu risikonya, mungkin dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor-koruptor tersebut. Sungguh semangat yang begitu besar dan mungkin sangat jarang kita temui pada generasi sekarang ini.
Sepanjang hidupnya, ia telah melahirkan sejumlah karya monumental dalam lingkup kebudayaan dan kesenian. Ia bahkan telah menjadi guru bagi banyak sastrawan. Ia banyak menulis berbagai hal. Walaupun karya sastralah yang paling banyak digelutinya. Karyanya sudah ratusan, mulai dari cerpen, novel, puisi, cerita anak-anak, sandiwara radio, esai mengenai masalah sosial budaya, hingga penulisan otobiografi dan biografi. Ia yang mengaku mulai menulis sejak tahun 1950, namun hasil karyanya baru mendapat perhatian dari pimpinan media cetak sekitar 1955, itu telah menghasilkan sebanyak 65 karya sastra dalam berbagai bentuk. Beberapa karyanya yang amat terkenal, selain Robohnya Surau Kami (1955) adalah Bianglala (1963), Hujan Panas (1964); Kemarau (1967), Saraswati, si Gadis dalam Sunyi, (1970), Dermaga dengan Empat Sekoci, (1975), ingga karya terakhirnya yang bertajuk Jodoh (1998).

*****

Beberapa waktu yang lalu ketika tengah asyik berselancar di dunia maya, saya menemukan sebuah situs yang menawarkan e-book¬ cerpen-cerpen A.A. Navis. Tanpa pikir panjang saya langsung mencoba mengunduhnya sebanyak dua kali, saya kira akan gagal karena jaringan yang buruk, tapi ternyata berhasil dengan sempurna. Ini merupakan sebuah kebetulan yang ajaib. Karena hari sebelumnya saya memang memendam keinginan untuk membaca lebih banyak memebaca dan mengenal karya-karya A.A. Navis. Keinginan saya begitu membuncah, apalagi setelah saya membaca karyanya yang cukup fenomenal yaitu cerpen “Robohnya Surau Kami”. Cerpen ini−menurut saya−merupakan trademark dari Sang Kepala Pencemooh.
Setelah membaca beberapa cerpen dari e-book tersebut, saya merasa tergelitik karena dari cerpen-cerpen yang saya baca itu, masing-masing memiliki kekuatan dan A.A. Navis tampak begitu terbuka daya pikirnya sehingga karya yang lahir tidak monoton dan tidak mudah ditebak. Dari sebelas cerpen yang disajikan dalam e-book, cerpen-cerpen yang sempat saya baca antara lain, Inyik Lunak Si Tukang Canang, Menanti Kelahiran, Angin Dari Gunung, Penangkapan, dan Dua Orang Sahabat. Masing-masing cerpen tersebut memiliki cara penyampaiannya sendiri dan menurut saya memang disitulah letak kelihaian A.A.Navis dalam menuangkan suatu suasana atau kejadian dalam alam pikarannya kedalam wadah nan istimewa prosa fiksi, khususnya cerpen.
Tanpa bermaksud sok tahu, saya yang masih sangat awam dalam hal menilai sebuah karya sastra mencoba menelaah sesuatu yang menarik dari cerpen-cerpen A.A. Navis. Dari pembacaan yang saya lakukan, saya kemudian memperbandingkan antara cerpem satu dan cerpen lainnya, khususnya dari segi cerita dan keberanian A.A. Navis dalam menggubah cerpen-cerpennya menjadi karya yang unik. Saya pun menarik kesimpulan bahwa cerpen bertajuk “Robohnya Surau Kami” yang di terbitkan tahun 1955 adalah karya yang paling unik dan begitu berani. Kekaguman saya pada penulis yang tak pernah merasa tua ini pun semakin besar dan membuat saya sadar, bahwa menulis itu membawa kita pada kehidupan yang sesungguhnya, yaitu dimana kita menghidupkan hal-hal baru melaui tulisan kita, dan akan lebih membanggakan lagi jika tulisan yang kita buat mampu mengubah cara pandangan seseorang yang begitu sempit terhadap sesuatu hal, menjadi lebih terbuka.
*****

Sesuai dengan judul yang saya cantumkan di atas, maka melalui uraian singkat ini, saya akan memaparkan pemikiran saya mengenai keunikan cerpen tersebut. Cerpen ini memiliki keistimewaan (bagi saya) dibandingkan dengan cerpen A.A. Navis yang lain. Keistimewaannya yaitu terletak pada teknik penceritaan A.A. Navis yang tidak biasa pada saat itu. Tidak biasanya karena Navis menceritakan suatu peristiwa yang terjadi di alam lain. Bahkan di sana terjadi dialog antara tokoh manusia dengan Tuhan Sang Maha Tinggi, Maha Pencipta. Hal inilah yang kemudian menjadikan cerpen ini begitu unik, lain dari biasanya, dan terlebih lagi cerpen ini lahir dalam atmosfir tahun 50-an. Kembali lagi mengenai pemunculan karakter Tuhan dalam cerpen, sepengetahuan saya hal seperti ini hanya ada dalam cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipanjikusmin dan cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis. Akan tetapi, kedua cerpen ini tetap saja berbeda.
Cerpen Kipanjikusmin muncul dengan membawa kehebohan yang begitu luar biasa di kalangan umat Islam sehingga harus berhadapan dengan hukum. Sedangkan cerpennya A.A. Navis muncul dengan membawa “kejutan” karena ceritanya menyindir pelaksanaan kehidupan beragama secara luar biasa tajamnya. Di dalam cerpen Langit Makin Mendung Tuhan dan malaikat diimajinasikan dengan kuat sekali, jelas jika kemudian hal ini mengundang kontroversi karena dalam agama islam itu sendiri terdapat larangan untuk melukiskan atau mengimajinasikan rupa Tuhan. Sedangkan dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” tidaklah seperti itu. Itulah sebabnya cerpen A.A. Navis tidak pernah berhadapan dengan hukum. (Sapardi Djoko Damono dalam kata pengantar Novel Kemarau karya A.A.Navis, 1992:vi).Selain itu cerpen A.A.Navis ini lebih banyak mengingatkan kita untuk selalu bekerja keras sebab kerja keras adalah bagian penting dari ibadah seorang muslim. Sungguh sebuah cerpen yang dapat digolongkan sebagai cerpen relijius, namun begitu ringkas dengan kesan mendalamnya bagi orang-orang yang berpikir.
Cerpen “Robohnya Surau Kami” yang terpilih menjadi satu dari tiga cerpen terbaik majalah sastra Kisah tahun 1955, juga merupakan Sebuah cerpen yang dinilai sangat berani. Kisahnya yang menjungkirbalikkan logika awam tentang bagaimana seorang alim justru dimasukkan ke dalam neraka karena dengan kealimannya, orang itu melalaikan pekerjaan dunia sehingga tetap menjadi miskin. Kisah yang begitu menyindir, namun menyindir atau tidaknya juga tergantung dari resepsi para pembacanya. Dalam cerpen ini gagasan atau pokok persoalan pun dituangkan sedemikian rupa oleh si penulis, sehingga jadilah amanat pokok yang terdapat dalam cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis adalah: “Pelihara, jaga, dan jangan bermasabodoh terhadap apa yang kau miliki.” Hal ini terdapat pada paragraf kelima dalam kalimat yang terakhir. Amanat pokok/utama ini kemudian diperjelas atau diuraikan dalam ceritanya. Akibatnya muncullah amanat-amanat lain yang mempertegas amanat utama itu. Hal ini pula yang semakin menambah keunikan cerpen ini..
Adapun keunikan dari segi penokohan, tampak pada tokoh Ajo Sidi. Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si pembual. Julukan ini muncul melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Bualannya pun selalu mengena di hati pendengarnya. Perhatikan kutipan berikut :
….Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya….

Keunikan juga hadir dari cara-cara penulis menggunakan simbol. Simbol yang digunakan begitu mengena dan tanpa butuh pemahaman tentang ilmu semiotika pun, kaum awam akan dengan mudah mengartikannya. Simbol yang terdapat dalam cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni “Robohnya Surau Kami”. Surau di sini merupakan simbol kesucian, karena dalam ajaran agama islam sendiri begitulah adanya. Surau atau masjid adalah tempat yang disucikan untuk beribadah. Terangnya, surau berkaitan erat dengan keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh. Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya, serta keserakahan yang begitu dahsyat. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap Tuhan dan agamanya terlibat luntur begitu saja. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam demi keakuan dirinya dan kelompoknya. Sungguh dalam pesan makna yang dalam hadir disini.
Menurut saya, cerpen ini menjadi refleksikan perspektif pemikiran sang penulis yang begitu jauh ke depan. Tentu yang roboh itu bukan dalam pengertian fisik, tapi sekali lagi ini merupakan kerobohan dari segi tata nilai. Hal yang memang tengah terjadi saat ini di negeri kita yang begitu kaya ini. Dari cerpen ini pula saya mengetahui bahwa hampir tumbangnya bangsa kita telah berlangsung sejak dulu, dan tetap terjadi stagnasi hingga kini. A.A. Navis memang sosok budayawan besar, kreatif, produktif, konsisten, dan jujur pada dirinya sendiri.
Melalui tulisannyalah ia ingin memberontak. Kutukannya terhadap koruptor selalu ia gemakan dan ia ingin sekali berkesempatan untuk mengejar dan memberantas mereka. Tapi ia tetap menyadari, bahwa tulisan tidak cukup kuat untuk menyanggah yang timpang, menambal yang bocor, atau meluruskan yang terkoyak dari negeri ini. Semua dikembali pada penguasa, sekali lagi penguasa. Begitulah Sang Kepala Pencemooh menghadirkan karya unik yang tentunya ia harapkan agar pesan-pesan di dalamnya dapat terus berlanjut bak tongkat estafet pada para generasi penerus bangsa. Semoga pesan-pesan itu tetap menghidupkan semangatnya untuk membangun negeri ini, meski jasadnya telah kalah oleh usia pada Sabtu, 22 Maret 2003.
Sekian.
*****




DAFTAR PUSTAKA
Pradopo, Rahmat Joko,dkk. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta : Hanindita.
Sayuti, Suminto A.2000. Berkenalan dengan Prosa Fiksi. Jogjakarta: Gama Media.
Sayuti, Suminto A. 1996. Apresiasi Prosa Fiksi. Jakarta : DEPDIKBUD

Wiyatmi, 2006. Pengantar Kajian Sastra. Jakarta: Pustaka.

www.google.com (search engine) access : 23 December 2008 02.48 pm

www.wikipedia.com (ensiklopedi berbahasa Indonesia) November 2008