Friday, October 1, 2010

Terra Incognita


LAUT BIRU DAN MASA LALU:
Catatan Kecil dari Sanggula



Oleh WA ODE RIZKI ADI PUTRI

Tera Incognita. Sebagian besar warga Kota Lama mungkin masih asing mendengarnya istilah ―yang sekilas terdengar seperti nama wanita latin ini. Saya tidak bermaksud membuat generalisasi yang berlebihan atas asumsi sepihak ini. Tapi inilah kenyataannya ketika saya menanyakan pada mereka “Pernah dengar istilah Tera Incognita?” raut wajah penuh tanda tanya —yang lebih besar dari tanda tanya pada pernyataan saya― pun segera nampak di dahi mereka yang mengerut. Diam-diam saya jadi tertarik untuk tahu lebih jauh, sejak kapan kerutan itu mulai muncul. Ketika melihat saya tergopoh-gopoh menghampiri mereka kah? Atau hidup penuh kerja keras di daerah kelas satu ini yang mempermanenkan raut wajah penuh tanda tanya itu. Tanda tanya tentang kemana perginya laut biru jernih, dari mana datangnya sampah yang terus bertambah dan seolah bertumbuh di teluk Kendari, mengapa kota lama makin kusam, dan sebagainya. Yang pasti tanda tanya baru kembali muncul bahkan kali ini di benak saya sendiri : Bagaimana jika Tera Incognita benar-benar terealisasi ?
Tidak secantik namanya, Tera Incognita secara kasar dapat diartikan sebagai pelenyapan sebuah negeri. Tidak banyak informasi berarti yang saya temukan mengenai fenomena ini. Namun, secara umum kita dapat membahasakan bahwa Tera Incognita mungkin akan melanda pusat kota Kendari tempo dulu: Kota Lama. Ya, La Ode Sadu (67), pedagang kecil di sudut warung bakso Telaga Biru, sekaligus anggota masyarakat Kota Lama ini menuturkan secara gamblang mengenai isu yang menghangat dua tahun belakangan. Akan terjadi penggusuran besar-besaran yang menyapu bersih eks Teater Kendari dan jejerannya ―termasuk sebuah ruko orang Cina yang baru rampung pembangunannya sekitar lima bulan lalu, Cafe remang-remang, panti pijat, tidak ketinggalan pelabuhan kecil yang menjadi penghubung antara Kota Lama dan Lapulu. Pelabuhan kecil yang menjadi tempat berlabuhnya mimpi-mimpi para bapak yang ingin menyekolahkan anak-anaknya bermodalkan pekerjaan sebagai papalimbang . Pelabuhan yang menjadi gerbang cita-cita anak-anak Lapulu, Abeli, dan Puday yang ingin meningkatkan gengsi dengan melanjutkan sekolah ke kota. Pelabuhan yang membawa kenangan tersendiri bagi warga kota Kendari yang pernah berkegiatan di sekitar situ tentunya. Jika semua benar terjadi, bukankah makin banyak tanda tanya yang kehadirannya begitu melukai pikiran kita ketika ia tak dapat terjawab?
Isu penggusuran bukanlah hal yang benar-benar baru, masih di tuturkan oleh La Ode Sadu, isu penggusuran semacam ini juga pernah santer pada akhir tahun 80-an. Dengan senyumnya yang lebar ia nampak bersahaja, meski sendal jepitnya kurang serasi dengan kemeja dan celana panjang kain yang ia kenakan. Di mata saya ia adalah pedagang kaki lima yang paling rapi seantero pelabuhan. Ia mengaku tidak khawatir kalaupun penggusuran benar-benar terealisasi. Kakek dari lima belas cucu ini, terlihat pasrah. Menurutnya, orang kecil seperti dia memang punya hak bersuara tetapi tidak punya hak untuk didengarkan. Lagi pula kios yang ia tempati berjualan sekarang ini tidaklah permanen dan dapat dipindah-pindah layaknya gerobak, ia tidak perlu risau kehilangan mata pencaharian selama masih ada sudut toko yang tidak tergusur. Ia dapat bertahan di sana sebagaimana ia bertahan selama ini sejak mulai berjualan pada tahun 1971. Ungkapannya sejalan dengan Rudi (58), satpam Pelabuhan Nusantara, ini bukan isu baru. Target penggusurannya pun sama, tapi kemudian isu itu mereda dan mulai eksis kembali ditahun-tahun belakangan.
Jika pedagang kaki lima dan satpam pelabuhan tampak biasa saja dengan kepastian penggusuran itu, garis kekhawatiran nampak dalam di wajah para papalimbang di Pelabuhan Sanggula. Bagaimana tidak, realisasi jembatan layang Kota Lama-Lapulu sekaligus merealisasi peristiwa hilangnya mata pencaharian mereka. Karena telah mengetahuinya jauh-jauh hari, mereka pun setengah hati menyiapkan diri untuk pekerjaan baru, sebagai alternatif mengepulkan asap dapur. Arpa, misalnya. Lelaki ramah yang logat daerahnya sekental nikotin di giginya ini, mengaku bersiap-siap menjual bodi yang ia miliki. Sebenarnya ia juga tak setuju. Tapi sekali lagi orang-orang kecil selalu tak punya pilihan. Sambil memandang jauh ke arah Pulo Pandang, ia menjalin kata sekaligus harapan untuk menjadi nelayan saja. Tentu hal itu akan lebih berat baginya. Menunggu penumpang sepanjang hari di pelabuhan, secara pasti akan menggiring uang sepuluh ribu rupiah ke kantongnya untuk sekali menyebrang. Tapi bagaimana dengan menjadi nelayan? Tidak ada yang pasti dari menangkap benda hidup, katanya. Apalagi pekerjaan menjadi papalimbang yang telah ia tekuni hampir 20 tahun, memaksanya mencintai rutinitas menarik tuas mesin, menambal bodi, dan bising deru mesinnya.
Nampaknya kesenioran juga menjadi faktor penentu pendapat. Jika papalimbang senior tegas menolak, lain halnya dengan papalimbang junior. Saya menemui seorang lelaki rantau yang tidak mau menyebutkan namanya. Ia mengaku tidak ambil pusing dengan penggusuran. Ia malah berpikir bahwa penggusuran akan membuka kesempatan kerja yang baru untuknya. Ia sendiri baru empat bulan ini menjadi papalimbang. Entah berkorelasi atau tidak, pendapatnya yang berani itu terefleksi dari kaos merah berslogan anti nakoba yang ia kenakan. Ya, perbedaan pendapat ini adalah wujud dari rahmat Tuhan. Perbedaan semacam ini bisa jadi bahan pertimbangan sesama mereka ke depannya.
Rutinitas tahunan bahkan puluhan tahun di pelabuhan kecil ini memang akan meninggalkan rasa yang begitu berat untuk dihilangkan. Para papalimbang Kota Lama sebagian besar masih gamang akan nasibnya ke depan. Sekarang ini saja pendapat mereka telah jauh berkurang sejak tersedianya pete-pete rute Pasar Baru-Tondonggeu (kelurahan Pasir Putih) yang memudahkan warga Tondonngeu, Sambuli, Nambo, Abeli, Lapulu, Puday, hingga Sakulawu untuk bepergian ke kota. Padahal sebelumnya mereka begitu tergantung dengan jasa ojek sampan. Ditambah lagi banyaknya ojek motor dan beberapa armada taksi yang siap mengantar warga di sana sampai ke halaman rumah sekalipun. Budaya naik ojek sampan segera sirna tanpa situs kenangan yang materi. Itu pun jika tidak membuang ingatan tentang penyebrangan Kota Lama-Lapulu.
Tentang pelabuhan kecil itu, ia telah difungsikan sejak laut teluk Kendari masih biru jernih, ketika rombongan ikan tembang, lajang, teri dan sesekali ikan ruma-ruma, masih terlihat berseliweran di kedalaman airnya yang masih tembus cahaya. Tapi itu sekedar masa lalu, yang kini hanya hidup dalam ingatan jangka panjang orang-orang tua. Sekarang ini yang tertangkap retina kita adalah bayangan laut hijau menghitam penuh sampah, kabur, penuh lumpur, dan dengan aroma yang tidak melegakan jika dihirup. Puluhan tahun pelbuhan itu dikenal dengan nama pelabuhan sanggula. Diresmikan pada tahun 60-an. Namanya diambil dari nama toko yang terletak persis di depan pelabuhan tersebut. Toko Wulele Sanggula yang kini juga tinggal kenangan.
Sebenarnya upaya penggusuran tersebut merupakan bagian dari sebuah proyek walikota yang bertajuk mempercantik wajah kota Kendari. Mungkin semacam meniru keeksisan Pantai Kamali di kota Bau-Bau. Namun, sejauh ini belum ada sebutan atau istilah resmi dari program pemerintah ini. Yang pasti program tersebut diestimasi akan rampung pada tahun 2020 dengan menghasilkan jembatan layang yang menghubungkan Kota Lama-Lapulu, pedestrian di tepi teluk, permandian, dan sejenis taman ria, dimulai dengan penggusuran daerah yang menjadi target pembangunan pada awal tahun 2010 ini.
Pro dan kontra adalah hal yang wajar ketika kita dihadapkan pada masalah dilematis seperti ini. Apalagi kita kadang kala terjebak dengan masa lalu dan selalu ingin mengulang kenangan. Lebih dari sekedar kenangan, di Sanggula ada banyak harapan hidup yang berlabuh. Bukan hanya Jika memang penggusuran akan membawa kebaruan yang lebih indah, mengapa harus kita tolak.

Wednesday, September 8, 2010

Puisi-Puisiku dalam Antologi Pedang Angin dan Sayap Air Mata




MEKANIKA LAGU PULANG

A.M.B.G.

lelaki

perlukah aku belajar dari kelopak bunga dilarung badai

sejenak bersitahan dengan lirih doa-doa yang hanya

diaminkan satu dua butir pasir

sungguh kau tahu betapapun

kunikmati sisa hujan memperparah rindu,

juga kering meluruhkan daun-daun, atau rel-rel kereta

memuai sepanjang siang,

lelah ini terlanjur lelap meniduri lambungku

muak digenangi gairah pedih sesayat asa

hari ini aku melangkahi langit

menjawab panggilan lagu pulang

yang syairnya bahkan ku eja dari kepak sayap izrail

sesempatnya kucuri hijau tundra dan sabana untukmu

sebagai latar tempat kenangan tentangku kelak kau lakonkan

kususuri juga mimpi-mimpi kita yang hanya tertambat di nakreus

kalau aku boleh meminta, lelaki

simpan saja ceritamu untuk esok

gemakan ia ke utara agar aku tak perlu merasakan sepi sejati

letakkanlah senyummu di bawah arak gemawan

mengiring perjalananku sesederhana azan subuh tadi

mungkin sebagai pengganti mawar yang ku benci durinya

sematkanlah belasungkawa dari puisi-puisimu yang paling kau hapal

pada nisan putih jadi pengganti wajahku

setelah ini hanya itu yang dapat kau usap

utas bayanganku segera mengirap ditawan gelap


Kendari, 8-9 Juli 2009



PULANGLAH KE DALAM MATAKU

L.M. Alhayun Kasim

bapak, pulanglah ke dalam mataku

sebelum magrib menumbuhkan gelap pada jalan-jalan setapak

yang kulalui dalam gendongan lalu tertidur di bahumu

di sana tergelar sejarah

semacam rengekan kanak-kanak, garis muda melekati wajah,

juga sumringah orang-orang dewasa

melirik aku melafal pancasila setengah terbata

adalah baju yang kelabu, topi yang sederhana, tetap setia mengawetkan

masa lalu

persis ketika kau menunggui aku di gerbang sekolah atau suatu sore kita menekuni dialog air laut dan koli-koli menyebrangi teluk kendari

ah, betapa deru mesin yang dikendalikan papalimbang terlampau senyap dibanding sorak gembiraku menghitung jumlah ombak,

meneriaki kawanan burung tengah istirah di tomba

kemarin aku tertegun mendapati tali pusarku tersimpan baik dalam lemari

mungkin telah menjelma artefak bagimu

sebab hadiah pertama dari bayi mungil hampir dua puluh tahun lalu

takkan pernah kau tukar dengan hening samudera

bapak, kaukah itu yang merentang tangan sepanjang garis edar matahari

menantiku melingkarkan sejengkal lengan anak kecil yang tak pernah cukup membelit pinggangmu

sungguh aku rindu jadi cengeng seperti waktu SD

agar dapat kubenamkan wajah pada penampang perutmu

sekedar menyembunyikan tangis ketika dimarahi mama

atau nilai matematikaku yang dapat merah

dan takdirpun berotasi di ragamu

sisakan rambut putih, gigi tanggal, kulit mengisut yang

belum memaksamu untuk tua

apalagi merangkai cita-cita sahaja

sedang kekeliruan memaknai april sebagai bulan ketiga

hanya setitik alamat bahwa kau mulai pelupa

aku masih menghidupkanmu sebagai lelaki pagi

mengajariku mendaki makna dongeng sebelum tidur

mengirim mimpi ke langit lewat layang-layang

juga merekat mozaik cerita dari lokan-lokan

yang kita pungut sepanjang bokori

sepanjang pulau hari

adakah kini waktu jadi terlampau mahal untuk kita bagi

sekedar menyeruput teh dari cangkir yang sama

atau memecah bisu perjalanan dalam angkot

bapak, pulanglah kedalam hatiku

sebelum gelap benar-benar meracuni langkah

demi rembulan yang menabur aroma malam

aku merindu kau merindukan aku


K
endari, 12 Juli 2009


Puisi-Puisiku dalam Antologi Dua Sisi Mata Cinta



KEPADA AYAH

sudahkah kau baca
satu sajak yang kuukir di mega-mega ?

tengok satu kali saja
disana ada narasi tentang kita

kuceritakan hujan menitik tanpa suara
mengikis bait sajakku satu-satu

kubiarkan angin membaca
meski sebenarnya dia buta

ayah

tengok satu kali saja
disini ada narasi tentang kita

tak perlu lagi mendongak ke mega- mega
kali ini tatap mataku saja

Kendari, 21 April 2008



ANGIN

akhirnya kau sampai juga di kamarku
merenungi desaumu sore ini
membuat aku tahu
musim hujan tengah mendaki langit
gusar, kurasakan jelas dari hembusmu
kau bahkan tak peduli pada jendela tua itu
ia terus saja berderit tak karuan
karena kau tabrak berkali-kali
apa yang ingin kau katakan kawan ?
beri aku waktu
menerjemahkan lagu bisumu
apa yang ingin kau ceritakan kawan ?
biar kutorehkan kisahmu
dalam diaryku yang sepi dari roman dan puisi
ungkaplah saja
setidaknya kau akan punya kenangan
tentang hari-hari melukis kemarau
dan cahaya bulan
berpendar pelan di antara awan

Kendari, 26 April 2008



AKU. PADA SEBUAH JALAN

angin kusut masai di jalan ini
menyerakkan kata luka dan sobekan pagi
ada damai kepak merpati
mati bersama raung remah-remah hujan

menengadah di jalan ini
jejak mendung hambur di mataku
menebak-nebak luas langit hingga
epilog sajak biru
rasanya hari ini akan jadi panjang,
diskusi dengan rindu semakin ngilu

berlari di jalan ini
menerobos gersang kematian musim
aku kalah dan pecah jadi keping buah mahoni
getir, dan lebih siksa dari laut yang
memerdekakan jiwa-jiwa, sedang ia terpenjara cakrawala
menampung ketaksetiaan ombak

hanya pada jalan ini
tak kutahu ujung bersemayam
lalu dari tuturan malam
kuketahui ujung itu akan datang
mengetuk setiap pintu rumah

Kendari, 7 Maret 2009



KAMALI DI SEPULUH
;Pamanku Alfailun
Sapoaati yang menjalari pantai
Mencipta prahara
Tentang takdir dan pesan ombak
Yang gagal terbaca dermaga
itu malam

tak ada gegar kabhanti menusuk teluk
tapi bula malino telah lama bulat
menggigit kelam langit wolio,
meledek temaram bukit kolema,
juga jengkal-jengkal
halaman putih pulau makassar
meluaskan mimpi senja hari

gelap, sepi, remuk di sini
di antara detak pasar malam
dan neon-neon meninggi
ada juga lagu Anggun C. Sasmi
merobek sunyi wajah
membunuh seru adzan isya masjid raya

kamali di sepuluh,
ketika cuaca melunturi musim
padamu paman,
akan kukabar kekalahan angin
lelah menghimpit
tegar patung naga

Bau-bau, 10-11 April 2009



CATATAN TENTANG I

ketika,
indonesia raya genapkan notasi senin pagi
rebus perak lazuardi gumamkan
kalimat embun meringkus aubade kata merdeka
lalu lekat pada pahit
merah-putih menuding langit

horizon itu mencintai banda, arafuru, flores, dan jawa
negeriku biru rebah dalam keranda
meski maut juga belum nyala
hanya lapar dahaga bersenyawa

sisir lelah cakrawala mematangkan
jarak pulau-pulau nusantara
merekam gelisah kita
tapi wangi melati terlanjur meludahi udara
menikam kebusukan nurani
para politisi juga tukang korupsi

jangan salahkan senja
jika merahnya menyindir luka-luka kita
jangan katakan kalau
karena aku takkan memuja kemarau

tanahmu,
hamparan harap meninggi ke pucuk awan
airmu,
melautkan mimpi
menendang sepi sebuah gurauan
tanahmu, airmu, berdarah dalam tubuhku


Kendari, 26 April 2009

Tuesday, September 7, 2010

Puisi Untuk Sahabat




Terlalu sedikit kata yang mampu menampung beban makna seberat persahabatan kita
Kali ini kupilah kata-kata itu dan kupinjam kecantikan puisi untuk sampai pada permulaan



>> PUISI UNTUK GUSMAN



KARENA AKU TAK PULANG

— Sahabatku La Ode Gusman Nasiru

ucapkan apa kabar untuk laut yang menghitam

untuk sari-sari aspal lekat merambati lekuk gelombangnya

pernahkah kau perhatikan betapa setia ia menjemput labuhmu?

selamat menjejak ranum tanah itu kembali

yang selalu mengurung kabhanti dan matahari pada dahan-dahan tua pohon asam, kamboja, cemara, juga rerumput halaman Baadia

adakah ia peduli lebat keningmu bau usia duapuluh?

siang ini, akumulasi cerita rindu tamat di Murhum

mungkin peneure di bawah jembatan

mengintipmu mengucap syukur penuh kaca

ah, lepaskanlah bersama kecewamu di situ

karena satu sajak tak jadi kita deklamasi di Kamali

aku tak pulang

sekedar mendongak ke bukit Wantiro atau

tersesat di los-los sempit Laelangi

maka sampaikan saja rinduku pada anak-anak angin

menderukan kenangan masa kecilmu dan kenangan masa remaja kita

o, mereka menumpahkan wangi ombak di otakku

jika kau sempat menyendiri

perhatikan bagaimana gemunung mencuatkan hijau

bagaimana sejarah menjelma cadas

Wolio-Sorawolio

atau Bungi-Betoambari

kekal dalam jarak


Kendari, 18 september 2009




LEBARAN ?

ini magrib

takbir jatuh di halaman rumah

mungkin dengan sedikit luka

bekas sabetan mercon

juga perasaan kalah

atas meriah kembang api


Kendari, 20 september 2009



ADHA MALAM

--Sahabatku Gusman

Di Balai Kota

Hujan mengiring takbir ke tepi malam

Seorang gadis mengaminkan doa pucuk-pucuk kelapa

Di Kemaraya

Takbir melengkapi langit

Seorang Pemuda mengenang aroma ibu dan lapa-lapa buatannya


Kendari, 27 November 2009



>> PUISI UNTUK EMMA




EMMA

seperti dalam lembar-lembar cerita hidupku kemarin

selalu kutulis tentang senyummu pada paragraf awal

senyum yang kau sungging dari matamu

lagi-lagi kutulis tentang senyummu

pada paragraf awal ceritaku hari ini

dari matamu

lekat kupandangi warna-warna terurai sempurna

sungguh ini lebih indah dari pelangi

yang membuatku selalu rindu pada hujan

Kendari, 7 Mei 2008




ELEGI SEBUAH RINDU

Kawanku: Emma

dan matahari pun memergoki gerimis

kalau boleh biarkan kupaku pelangi

agar lekat dijendela kamarmu

kuterka kau akan tertawa

benar saja

lalu kurasakan nafasmu mengoyak lembaran angin

menguapkan berbutir luka kaku

mendung pecah menjadi rintik paling senyap

biru bergumam dibening matamu

tak sepicing kau berpaling

ada ilalang merunduk

dan terlepaslah rindu pada ibu

lengkung seuyum dalam takjub

membulatkan bianglala paling sempurna

kalau boleh biarkan ku pahat namamu

pada merahnya puncak pelangi yang rona


kamar, 17 nov -08

0.35